HIDUPKU UNTUK NEGARAKU.

Hanya untukmulah seluruh yang aku dapatkan untuk membangun kemajuan negara kesayanganku yang selalu tercantum dalam jiwa dan ragaku ini, semoga perjuangan ini bermanfaat bagi negeriku. Rasa syukur saya panjatkan hanya kepdamu ya Allah swt dan bagi keluargaku SURRE TURUBUH semoga anakmu ini selalu menjadi yang terbaik didunia dan akhirat.....amin.
Powered By Blogger

22/01/10

PEMBERDAYAAN SUMBER DAYA MANUSIA.

Kening saya secara otomatis berkerut ketika membaca buku tentang anotomi tubuh khususnya bagian otak. Ternyata semua otak manusia berbentuk sama. Seseorang yang dilahirkan di New Delhi, India atau di Ponorogo, Jawa Timur akan mempunyai bentuk dan ukuran yang mirip. Akhirnya saya berani berkesimpulan, otak orang-orang Indonesia sama dengan otak orang-orang dari negara lain. Yang membedakan adalah bagaimana masing-masing orang mengisi otaknya sehingga mempengaruhi cara berpikirnya. Jadi adalah tidak benar jika seseorang mengatakan bahwa bibit SDM Indonesia termasuk dalam kelas kacangan, bukan bibit unggul. Sehingga kalau ada satu yang kelihatan encer, cepat-cepat mereka mengatakan “O..si A itu perkecualian”.Tentang kharakter sebuah masyarakat, kalau dibaca dari sejarah (terutama setting kerajaan), bukan saja ditanah Jawa, tetapi hampir di semua belahan dunia, selalu diwarnai dengan pertumpahan darah untuk sebuah kursi kekuasan. Lihat saja sejarah di Romawi, Yunani, India apalagi dari dataran Cina. Artinya, sifat dasar masyarakat Indonesia kurang lebih sama dengan mereka-mereka dibelahan dunia yang lain.
Dua paragraph di atas memberikan data bahwa raw material-nya sama apakah itu orang Indonesia atau bukan (asal kakinya masih menginjak di planet yang sama, Bumi). Dalam konteks pemberdayaan SDM Indonesia saya melihat adanya kekuatan eksternal yang lebih kuat dibandingkan faktor internal. Namun sebelum melangkah lebih spesifik tentang SDM, mari kita lihat keberadaan negara kita Indonesia secara makro, yaitu idelogi sebuah negara.
Ideologi bernegara
Premis saya sebagai berikut “Penjajahan merupakan sumber perusak moral bangsa kita”. Saya percaya bahwa mentalitas feodal adalah warisan akibat penjajahan. Mari kita melek bersama, bahwa sekarang ini pemaksaan sebuah ideologi tidak lagi seperti jaman dulu ketika kita dijajah Belanda atau Jepang. Bentuk penjajahan sekarang ini sudah sedemikian halusnya seiring dengan isu globalisasi yang dihembuskan. Seolah kita semua meng-amin-i bahwa negara diseluruh dunia ini sudah menyatu, tidak ada lagi sekat geografis antar negara. Benarkah? Sebentar dulu. Jangan sampai kita terkecoh dan termakan oleh pernyataan ini. Untuk perkembangan teknologi IT, itu benar. Hampir seluruh negara di dunia ini tidak mempunyai kuasa menolak laju perkembangan teknologi ini. Teknologi ini telah mampu menggenggam dunia dalam hitungan detik. Bagaimana dari kaca mata ideologi bernegara? Benarkah seluruh dunia ini akan mempunyai idelogi tunggal? Tentu saja tidak. Itu adalah kharakteristik suatu bangsa. Ketika bungkusan ideologi ini dibuka di atas meja, maka kepada negara yang memiliki teknologilah yang akan men-driven negara lain. Inilah bentuk penjajahan baru.
Faktor eksternal
Faktor eksternal yang patut diwaspadai dalam mensikapi SDM Indonesia adalah globalisasi (perdagangan pasar bebas). Perdagangan pasar bebas bukanlah gosip atau rumor yang kehadirannya masih dipertanyakan. Globalisasi adalah pendatang baru yang sudah beli tiket dan akan datang ke negara kita dan akan menetap untuk jangka waktu yang lama. Siapkah kita? Bagaimana SDM kita menghadapi tamu ini?
Menganggap pembajakan tenaga ahli Indonesia sebagai hal yang lumrah adalah konsep nrimo, seolah kita tidak kuasa terhadap dampak globalisasi ini. Kita membiarkan mereka pergi karena kita tidak mampu bersaing dengan yang membajak. Dua akar permasalahan yang berbeda. Yang pertama, kita biarkan mereka pergi karena ada tawaran yang lebih baik. Alasan perut atau idealisme. Sedangkan yang kedua, ternyata treatment bangsa kita terhadap anak bangsa sendiri masih tergolong rasis dan tidak mempunyai nilai kompetitif. Rasis kok sama bangsa sendiri. Dari dua akar permasalahan tadi, alasan pertama lebih disebabkan karena alasan kedua muncul terlebih dulu.
Tidak mungkin SDM Indonesia yang dibajak adalah mereka-mereka yang hanya berkemampuan di atas rata-rata saja. Paling tidak mereka-mereka yang dibajak ini adalah mereka yang mempunyai kriteria jenis langka dibidangnya, dimana pembajak tidak mempunyai keahliannya.
Dalam era globalisasi, membiarkan SDM yang potensial (100% kemampuannya) dibajak artinya memberi kesempatan SDM negara lain untuk masuk. Akankah kita adu SDM Indonesia yang masih 50% kemampuannya diadu dengan SDM dari India atau Cina (misalnya) yang fully 100% kemampuannya? Kalau mau profesional, adu mereka dengan kekuatan yang sama 100%. Itu namanya profesional dan bukan karena alasan sesama bangsa Indonesia (KKN), yang berkemampuan 50% dimenangkan dan naik daun menjadi pejabat. Ini konyol namanya. Tidak heran, kualitas kita saat ini serba tanggung, akhirnya menghasilkan 4 kasta pejabat. Kasta pertama, berani dan berkemampuan. Kasta kedua, berani tetapi tidak berkemampuan. Kasta ketiga, tidak berani tetapi mempunyai kemampuan, dan yang Kasta keempat, tidak berani dan tidak berkemampuan. Kasta mana yang paling banyak isinya di negara kita? Ada dua, mereka yang berani tetapi tidak berkemampuan (yang penting ngotot dan berdalil “pokoknya”) dan tidak berani tetapi punya kemampuan (nrimo tapi beban batin). Inilah salah satu sumbangsih kita bersama ketika mengikhlaskan para SDM yang berkualitas dibajak oleh negara lain.
Faktor Internal

Membentuk assosiasi keahlian di dalam negeri dalam upaya untuk mencegah lajunya SDM asing masuk ke Indonesia adalah ide bagus. Namun demikian harus juga ditunjukkan kepada mereka bahwa SDM kita memang berpotensi dan siap untuk diadu dengan mereka dipasaran. Kalau pengujinya mempunyai kemampuan lebih rendah dari yang diuji, para SDM luar negeri (India misalnya), bisa-bisa kita dikibuli apalagi para gelehe-gelehe atau nehi-nehi itu jagonya ngomong. Konsekuensinya? Pasang para SDM Indonesia yang handal untuk menghadapi SDM dari luar negeri ini.
Memperkuat barisan SDM di Indonesia. Perlu penghargaan bagi mereka yang memang potensial. Kita tidak usah iri. Mereka wajar untuk memperolehnya sesuai dengan tingkat kemampuan dan karyanya untuk pembangunan bangsa ini. Sambil waktu berjalan, mari manfaatkan sumber alam yang tersisa ini ditunjang dengan infrastruktur yang ada. Itu artinya, ada nilai kompetitif dan tujuan yang jelas mengapa kita jaga orang-orang yang berkualitas untuk berkarya dibidangnya di Indonesia. Ada reward dan pekerjaan yang jelas. Sasaran lainnya adalah ini bagian dari proses mencerdaskan kehidupan bermasyarakat bahwa gaji yang mereka terima adalah halal (karena memperoleh reward sesuai dengan jenis perkerjaan dan tanggung jawabnya), tidak makan gaji buta.
Kesimpulan
SDM Indonesia saat ini berpencaran kemana-mana tanpa ada arahan yang jelas mau dibawa kemana dan untuk apa. Jumlah ini akan terus bertambah jika kita masih menganggap bahwa pembajakan tenaga ahli Indonesia oleh negara lain adalah hal yang lumrah dan bukan merupakan sebuah ancaman. Adalah tugasnya pemegang kekuasaan (pemerintah) untuk menyiapkan blue print tentang visi kedepan. Teknologi apa saja yang ingin dicapai dan SDM jenis seperti apa yang diperlukan. Adakah kita punya SDMnya sekarang? Kalau ada, dimana? Kalau sudah ketemu, mau diapakan? Kalau belum ada SDMnya, apa rencana kita? Dengan visi yang jelas dan komitmen untuk pembangunan Indonesia, saya melihat ikatan psychologis kebangsaan lebih kuat daripada ikatan material. Ini akan mampu menarik SDM Indonesia dari manapun mereka saat ini mencangkul sawahnya untuk berkumpul bersama dan memikirkan satu perut, yaitu perut rakyat Indonesia.
Salah satu point yang ingin saya tawarkan adalah memperlakukan SDM Indonesia sebagai asset. Mari kita pelihara SDM kita untuk menghadang ideology negara lain. Jangan dilepas. Ini bukan urusan perut orang per orang tetapi keberlangsungan suatu tatanan bernegara yang harus kita junjung tinggi di atas usaha dan kaki kita sendiri. Tentunya, asset jangan sampai dibuang atau dibiarkan begitu saja. Kita teriak-teriak ketika satelit PALAPA kita dijual ke Singapura. Kenapa kita tidak teriak ketika para ahli kita dibidang telekomunikasi ini ditarik oleh Kanada? Kita lebih sayang barangnya melayang daripada SDMnya yang pergi. Perlu digarisbawahi, tidak semua yang pergi keluar negeri karena alasan perut. Banyak dari mereka yang berada diluar karena melihat hal-hal yang aneh di Indonesia untuk ukuran manusia yang beradab.

Tidak ada komentar: