HIDUPKU UNTUK NEGARAKU.

Hanya untukmulah seluruh yang aku dapatkan untuk membangun kemajuan negara kesayanganku yang selalu tercantum dalam jiwa dan ragaku ini, semoga perjuangan ini bermanfaat bagi negeriku. Rasa syukur saya panjatkan hanya kepdamu ya Allah swt dan bagi keluargaku SURRE TURUBUH semoga anakmu ini selalu menjadi yang terbaik didunia dan akhirat.....amin.
Powered By Blogger

06/01/10

SOLUSI ISLAM (KHILAFAH) DALAM MASALAH KEMISKINAN

 
Kemiskinan adalah fenomena yang begitu mudah
dijumpai di mana-mana. Tak hanya di desa-desa, namun juga di kota-kota. Di
balik kemegahan gedung-gedung pencakar langit di Jakarta, misalnya, tidak terlalu sulit kita
jumpai rumah-rumah kumuh berderet di bantaran sungai, atau para pengemis yang
berkeliaran di perempatan-perempatan jalan.
Anehnya, secara statistik jumlah mereka bukan
berkurang, tetapi justru terus bertambah. Terlebih lagi setelah krisis ekonomi
melanda Indonesia.
Disadari atau tidak, semua itu merupakan buah pahit Kapitalisme. Sebab memang
sistem kapitalislah yang diterapkan saat ini dan kemiskinan itulah yang
terjadi. Bahkan tak sekadar kemiskinan, kesenjangan pun makin lebar antara
orang kaya dan miskin. Pada tahun 1985, misalnya, pendapatan per kapita Indonesia sebesar 960 dolar AS per orang per tahun. Dari angka tersebut 80% daripadanya
dikuasai hanya oleh 300 grup konglomerat saja. Sedangkan sisanya 20 %,
diperebutkan oleh hampir 200 juta penduduk[2].
Harus diakui, kapitalisme memang telah gagal
menyelesaikan problem kemiskinan. Alih-alih dapat menyelesaikan, yang terjadi
justru menciptakan kemiskinan. Jika demikian halnya mengapa umat tidak segera
berpaling pada Islam? Sebagai sebuah ideologi, Islam memiliki banyak aturan
untuk mengatasi berbagai problem kehidupan, termasuk kemiskinan. Bagaimana
Islam mengatasi masalah ini, makalah ringkas ini mencoba untuk menguraikannya.
 
Pandangan Islam Tentang Kemiskinan
Kemiskinan adalah salah satu sebab kemunduran dan kehancuran suatu
bangsa. Bahkan Islam memandang kemiskinan merupakan suatu ancaman dari setan.
Allah Swt.. berfirman:
 
]الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ[
Setan
menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan (TQS. Al-Baqarah [2]:
268)
 
Karena itulah, Islam sebagai risalah paripurna dan
sebuah ideologi yang shahih, sangat consen terhadap masalah kemisikinan dan upaya-upaya untuk mengatasinya.
Dalam fiqih, dibedakan antara istilah Fakir dan
Miskin. Menurut pengertian syara’, Fakir adalah
orang yang tidak mempunyai kecukupan harta untuk memenuhi kebutuhan pokoknya
seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal. Sedangkan Miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai apa-apa[3].
Dari pengertian kedua istilah di atas, nampak bahwa
kriteria Fakir sebenarnya telah mencakup kriteria Miskin. Karena itulah dalam
pembahasan selanjutnya, kedua istilah tersebut dilebur dalam satu istilah yaitu miskin, dengan pengertian orang-orang yang tidak mempunyai kecukupan
harta untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, berupa pangan, sandang dan papan.
Syariat Islam telah menetapkan kebutuhan pokok
(primer) bagi setiap individu adalah pangan, sandang, dan papan. Allah Swt.
berfirman:
 
]وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ
وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ[
Kewajiban
ayah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. (TQS. al-Baqarah [2]: 233)
 
]أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ
سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ[
Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal, sesuai
dengan kemampuanmu. (TQS.
ath-halaq [65]: 6).
 
Rasulullah saw. bersabda:
 
Dan kewajiban para suami terhadap para istri adalah memberi mereka
belanja (makanan) dan pakaian. (HR.
Ibn Majah dan Muslim dari Jabir bin Abdillah).
 
Sebagai kebutuhan primer, ketiga hal tersebut, harus terpenuhi secara
keseluruhan. Jika salah satu saja tidak terpenuhi, maka seseorang terkategori
sebagai orang miskin.
Pangan, sandang, dan papan yang dimaksud di sini, tidak berarti sekadar
apa adanya, melainkan harus mencakup hal-hal yang berkaitan dengannya.
Kebutuhan pangan, misalnya, juga termasuk hal-hal yang berkaitan dengannya,
seperti peralatan dapur; kayu bakar, minyak tanah, atau gas; rak piring, lemari
makan, meja makan, dan lain-lain. Sedangkan yang termasuk bagian dari kebutuhan
pakaian adalah apa-apa yang diperlukan seperti peralatan berhias, parfum,
bedak, celak, minyak rambut, lemari pakaian, cermin, dan lain-lain. Sedangkan
yang termasuk bagian dari kebutuhan tempat tinggal adalah apa-apa yang
diperlukan untuk tempat tinggal, seperti tempat tidur dan perabotan rumah
tangga, menurut yang umum diketahui masyarakat, seperti, meja, kursi, karpet,
korden, dan lain-lain.[4] Demikianlah tolok ukur kemiskinan menurus Islam. Dari sini tampak bagaimana
Islam memberikan jaminan kepada manusia untuk hidup secara layak sebagai
manusia.
Tolok ukur kemiskinan ini berlaku untuk semua
manusia, kapan pun dan di mana pun mereka berada. Tidak boleh ada pembedaan
tolok ukur kemiskinan bagi orang yang tinggal di satu tempat dengan tempat
lainnya, atau di satu negeri dangan negeri lainnya. Misalnya, orang yang
tinggal di Amerika dikatakan miskin jika tidak memiliki mobil pribadi (walaupun
tercukupi pangan, sandang dan papannya). Sementara di Indonesia, orang semacam
ini tidak dikatakan miskin. Pandangan semacam ini bathil dan tidak adil. Sebab,
Syariat Islam diturunkan untuk menusia sebagai manusia, bukan sebagai individu.
Sehingga tidak ada perbedaan dari sisi kemanusiaan antara orang yang tinggal di
suatu negeri dengan negeri lainnya. Seandainya sebuah Negara memerintah
rakyatnya dari berbagai negeri, di Mesir, Yaman, Sudan, Indonesia, Jerman, dan
lain-lain; maka tidak sah jika pandangan pemerintah tersebut terhadap
kemiskinan berbeda-beda antara rakyat yang satu dengan yang lain.
Lebih dari itu, yang ditetapkan syariat Islam sebagai kebutuhan pokok
sebenarnya bukan hanya pangan, sandang, dan papan. Ada hal lain yang juga termasuk kebutuhan
pokok yaitu kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Hanya saja, pemenuhan
kebutuhan tersebut tidak dibebankan kepada individu masyarakat, melainkan
langsung menjadi tanggungjawab negara. Dalam membahas kemiskinan, ketiga hal
ini tidak dimasukan dalam perhitungan, karena memang bukan tanggungjawab
individu.
 
Cara Islam Mengatasi Kemiskinan
Allah Swt. sesungguhnya telah menciptakan manusia, sekaligus menyediakan
sarana-sarana untuk memenuhi kebutuhannya. Bahkan tidak hanya manusia; seluruh
makhluk yang telah, sedang, dan akan diciptakan, pasti Allah menyediakan rizki
baginya. Tidaklah mungkin, Allah menciptakan berbagai makhluk, lalu membiarkan
begitu saja tanpa menyediakan rizki bagi mereka. Allah Swt. berfirman:
 
]اللهُ الَّذِي خَلَقَكُمْ ثُمَّ رَزَقَكُمْ[
Allah-lah
yang menciptakan kamu, kemudian memberikan rizki.(TQS. ar-Rum [30]: 40)
 
]وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي اْلأَرْضِ إِلاَّ
عَلَى اللهِ رِزْقُهَا[
Tidak ada
satu binatang melata pun di bumi, melainkan Allah yang memberi rizkinya. (TQS. Hud [11]: 6)
 
Jika demikian halnya, mengapa terjadi kemiskinan? Seolah-olah kekayaan
alam yang ada, tidak mencukupi kebutuhan manusia yang populasinya terus
bertambah.
Dalam pandangan ekonomi kapitalis, problem ekonomi disebabkan oleh adanya
kelangkaan barang dan jasa, sementara populasi dan kebutuhan manusia terus
bertambah. Akibatnya, sebagian orang terpaksa tidak mendapat bagian, sehingga
terjadilah kemiskinan. Pandangan ini jelas keliru, bathil, dan bertentangan
dengan fakta.
Secara i’tiqadiy, jumlah
kekayaan alam yang disediakan oleh Allah Swt. untuk manusia pasti mencukupi.
Hanya saja, apabila kekayaan alam ini tidak dikelola dengan benar, tentu akan
terjadi ketimpangan dalam distribusinya. Jadi, faktor utama penyebab kemiskinan
adalah buruknya distribusi kekayaan. Di sinilah pentingnya keberadaan sebuah
sistem hidup yang shahih dan keberadaan negara yang menjalankan sistem
tersebut.
Islam adalah sistem hidup yang shahih. Islam
memiliki cara yang khas dalam menyelesaikan masalah kemiskinan. Syariat Islam
memiliki banyak hukum yang berkaitan dengan pemecahan masalah kemiskinan; baik
kemiskinan alamiyah, kultural, maupun sruktural. Hanya saja, hukum-hukum itu
tidak berdiri sendiri, melainkan memiliki hubungan sinergis dengan hukum-hukum
lainnya. Jadi, dalam menyelesaikan setiap masalah, termasuk kemiskinan, Islam
menggunakan pendekatan yang bersifat terpadu. Bagaimana Islam mengatasi
kemiskinan, dapat dijelaskan sebagai berikut:
 
1.       Jaminan Pemenuhan
Kebutuhan Primer
Islam telah menetapkan kebutuhan primer manusia terdiri dari pangan,
sandang, dan papan. Terpenuhi-tidaknya ketiga kebutuhan tersebut selanjutnya
menjadi penentu miskin-tidaknya seseorang. Sebagai kebutuhan primer, tentu
pemenuhannya atas setiap individu, tidak dapat ditawar-tawar lagi. Oleh karena
itu, Islam memberikan jaminan atas pemenuhan kebutuhan ini.
Adanya jaminan pemenuhan kebutuhan primer bagi setiap individu, tidak
berarti negara akan membagi-bagikan makanan, pakaian, dan perumahan kepada
siapa saja, setiap saat. Sehingga terbayang, rakyat bisa bermalas-malasan
karena kebutuhannya sudah dipenuhi. Ini anggapan yang keliru. Jaminan pemenuhan
kebutuhan primer dalam Islam diwujudkan dalam bentuk pengaturan
mekanisme-mekanisme yang dapat menyelesaikan masalah kemiskinan. Mekanisme
tersebut adalah:
 
a.       Mewajibkan Laki-laki
Memberi Nafkah Kepada Diri dan Keluarganya.
 
Islam mewajibkan laki-laki yang mampu dan
membutuhkan nafkah, untuk bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Allah
Swt. berfirman:
 
]فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا
وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ[
Maka berjalanlah ke segala penjuru, serta makanlah sebagian dari
rizeki-Nya.(TQS. al-Mulk[67]: 15)
 
Dari Abu Hurairah, dia berkata: Aku mendengan
Rasulullah saw. bersabda:
 
Salah seorang diantara kalian pergi pagi-pagi mengumpulkan kayu bakar,
lalu memikulnya dan berbuat baik dengannya (menjualnya), sehingga dia tidak
lagi memerlukan pemberian manusia, maka itu baik baginya daripada dia mengemis
pada seseorang yang mungkin memberinya atau menolaknya[5]
 
Ayat dan hadits di atas menunjukan adanya kewajiban
bagi laki-laki untuk bekerja mencari nafkah. Bagi para suami, syara’ juga
mewajibkan mereka untuk memberi nafkah kepada anak dan istrinya. Allah Swt.
berfirman:
 
]وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ
وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ[
Kewajiban
ayah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. (TQS. al-Baqarah [2]: 233)
 
]أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ
مِنْ وُجْدِكُمْ[
Tempatkanlah
mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal, sesuai dengan kemampuanmu. (TQS. ath-Thalaq [65]: 6)
 
Jadi jelas, kepada setiap laki-laki yang mampu
bekerja, pertama kali Islam mewajibkan untuk berusaha sendiri dalam rangka
memenuhi kebutuhannya dan keluarganya. Adapun terhadap wanita, Islam tidak
mewajibkan mereka untuk bekerja, tetapi Islam mewajibkan pemberian nafkah
kepada mereka.
 
b.        Mewajibkan Kerabat Dekat untuk Membantu Saudaranya
 
Realitas menunjukkan bahwa tidak semua laki-laki
punya kemampuan untuk bekerja mencari nafkah. Mereka kadang ada yang cacat
mental atau fisik, sakit-sakitan, usianya sudah lanjut, dan lain-lain. Semua
ini termasuk ke dalam orang-orang yang tidak mampu bekerja. Jika demikian
keadaannya lalu siapa yang akan menanggung kebutuhan nafkahnya?
 
Dalam kasus semacam ini, Islam mewajibkan kepada
kerabat dekat yang memiliki hubungan darah, untuk membantu mereka. Allah Swt.
berfirman:
 
]وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ
رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا
وُسْعَهَا لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ
وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ[
Dan kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada pada ibu
dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupanya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya, dan
seorang ayah karena anaknya. Dan warispun berkewajiban demikian… (TQS. al-Baqarah [2]: 233).
 
Maksudnya, seorang waris berkewajiban sama seperti
seorang ayah, dari segi nafkan dan pakaian. Yang dimaksud waris di sini, bukan
berarti orang yang secara langsung bisa mewarisi. Melainkan, yang dimaksud
adalah siapa saja yang berhak mendapatkan waris.[6]
 
Jadi jelas, jika seseorang secara pribadi tidak
mampu memenuhi kebutuhannya, karena alasan-alasan di atas, maka kewajiban
memenuhi nafkah, beralih ke kerabat dekatnya.
Jika kerabat dekat diberi kewajiban untuk membantu
saudaranya yang tidak mampu, bukankah hal ini akan menyebabkan kemiskinan para
keluarganya dan dapat berdampak pada menurunnya taraf kehidupan mereka? Tidak
dapat dikatakan demikian! Sebab, nafkah tidak diwajibkan oleh syara’ kepada
keluarga, kecuali apabila terdapat kelebihan harta. Orang yang tidak memiliki
kelebihan, tidak wajib baginya memberi nafkah. Sebab, memberi nafkah tidak
wajib kecuali atas orang yang mampu memberinya.
 
Orang yang mampu menurut syara’ adalah orang yang
memiliki harta lebih dari kebutuhan-kebutuhuan primer (al-hajat al-asasiyah), dan kebutuhan pelengkap (al-hajat al-kamaliyah), menurut
standart masyarakat sekitarnya. Rasulullah saw. bersabda:
 
 
Sebaik-baik sedekah adalah harta yang berasal dari selebihnya keperluan(HR.
Imam Bukhari dari Abu Hurairah)
 
 
Tangan di atas (memberi) itu lebih baik dari tangan di bawah (meminta),
mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu, dan sebaik-baik sedekah adalah
dari selebihnya keperluan(HR. Nasa’i, Muslim, dan Ahmad dari Abu
Harairah)
 
Yang dimaksud al-Ghina (selebihnya keperluan) di sini adalah harta di mana manusia (dengan keadaan
yang dimilkinya) sudah tidak butuh lagi apa-apa buat mencukupi level pemenuhan
kebutuhan primer (al-hajat al-asasiyah),
dan kebutuhan pelengkap (al-hajat
al-kamaliyah), menurut standart masyarakat sekitarnya.[7]
 
c.        Mewajibkan Negara untuk Membantu Rakyat Miskin
 
Bagaimana jika seseorang yang tidak mampu tersebut
tidak memiliki kerabat? Atau dia memiliki kerabat, akan tetapi hidupnya
pas-pasan? Dalam kondisi semacam ini, kewajiban memberi nafkah beralih ke Baitul Mal (kas negara). Dengan kata
lain, negara melalui Baitul Mal,
berkewajiban untuk memenuhi kebutuhannya. Rasulullah Saw. pernah bersabda:
 
Siapa saja
yang meninggalkan harta, maka harta itu untuk ahli warisnya, dan siapa saja
yang, meninggalkan ‘kalla’, maka dia menjadi kewajiban kami.(HR.
Imam Muslim)
 
Yang dimaksud kalla adalah oang yang lemah, tidak mempunyai anak, dan tidak mempunyai orang tua.
 
Anggaran yang digunakan negara untuk membantu
individu yang tidak mampu, pertama-tama diambilkan dari kas zakat. Allah Swt..
berfirman:
 
]إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ
وَالْمَسَاكِينِ[
Sedekah
(zakat) itu hanya diperuntukkan bagi para fakir miskin…(TQS.
at-Taubah [9]: 60)
 
Apabila harta zakat tidak mencukupi, maka negara
wajib mencarinya dari kas lain, dari Baitul
Mal.
 
d.        Mewajibkan Kaum Muslim untuk Membantu Rakyat Miskin
 
Apabila di dalam Baitul
Mal tidak ada harta sama sekali, maka kewajiban menafkahi orang miskin
beralih ke kaum Muslim secara kolektif. Allah Swt. berfirman:
 
]وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ
وَالْمَحْرُومِ[
Di dalam
harta mereka, terdapat hak bagi orang miskin yang meminta-minta yang tidak
mendapatkan bahagian. (TQS.
adz-Dzariyat [51]: 19)
 
Rasulullah saw. juga bersabda:
 
Siapa saja
yang menjadi penduduk suatu daerah, di mana di antara mereka terdapat seseorang
yang kelaparan, maka perlindungan Allah Tabaraka Wata’ala terlepas dari mereka. (HR. Imam
Ahmad)
 
Tidaklah
beriman kepada-Ku, siapa saja yang tidur kekenyangan, sedangkan tetangganya
kelaparan, sementara dia mengetahuinya. (HR. al-Bazzar)
 
Secara teknis, hal ini dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, kaum
Muslim secara individu membantu orang-orang yang miskin. Kedua, negara
mewajibkan dharibah (pajak) kepada
orang-orang kaya, hingga mencukupi kebutuhan untuk membantu orang miskin. Jika,
dalam jangka waktu tertentu, pajak tersebut tidak diperlukan lagi, maka
pemungutannya oleh negara harus dihentikan.
 
Demikianlah mekanisme bagaimana Islam mengatasi masalah kemiskinan secara
langsung. Pertama, orang yang bersangkutan diwajibkan untuk mengusahakan
nafkahnya sendiri. Apabila tidak mampu, maka kerabat dekat yang memiliki
kelebihan harta wajib membantu. Apabila kerabat dekatnya tidak mampu, atau
tidak mempunyai kerabat dekat, maka kewajiban beralih ke Baitul Mal dari kas zakat. Apabila tidak ada, wajib diambil dari Baitul Mal, dari kas lainnya. Apabila
tidak ada juga, maka kewajiban beralih ke seluruh kaum Muslim. Secara teknis,
hal ini dapat dilakukan dengan cara kaum Muslim secara individu membantu orang
yang miskin; dan negara memungut dharibah (pajak) dari orang-orang kaya, hingga mencukupi.
 
2.       Pengaturan
Kepemilikan
Pengaturan kepemikikan memiliki hubungan yang sangat erat dengan masalah
kemiskinan dan upaya untuk mengatasinya. Syariat Islam telah mengatur masalah
kepemilikan ini, sedemikian rupa sehingga dapat mencegah munculnya masalah
kemiskinan. Bahkan, pengaturan kepemilikan dalam Islam, memungkinkan masalah
kemiskinan dapat diatasi dengan sangat mudah.
Pengaturan kepemilikan yang dimaksud mencakup tiga aspek, yaitu jenis-jenis
kepemilikan, pengelolaan kepemilikan, dan pendistribusian kekayaan di
tengah-tengah masyarakat. Bagaimana pengaturan kepemilikan ini dapat
mengatasi masalah kemiskinan, dapat dijelaskan secara ringkas sebagai merikut.
 
a.        Jenis-jenis Kepemilikan
Syariat Islam mendefinisikan kepemilikan sebagai izin dari as-Syari’ (Pembuat Hukum) untuk
memanfaatkan suatu zat atau benda. Terdapat tiga macam kepemilikan dalam
Islam, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara.
 
·         Kepemilikan individu adalah izin dari Allah Swt.. kepada individu untuk
memanfaatkan sesuatu.
 
Allah Swt. telah memberi hak kepada individu untuk
memiliki harta baik yang bergerak maupun tidak bergerak. Tentu sepanjang harta
tersebut diperoleh melalui sebab-sebab yang dibolehkan, misalnya: hasil kerja,
warisan, pemberian negara, hadiah, dan lain-lain.
 
Adanya kepemilikan individu ini, menjadikan
seseorang termotivasi untuk berusaha mencari harta, guna mencukupi
kebutuhannya. Sebab, secara naluriah, manusia memang memiliki keinginan untuk
memiliki harta. Dengan demikian, seseorang akan berusaha agar kebutuhannya
tercukupi. Dengan kata lain, dia akan berusaha untuk tidak hidup miskin.
 
·         Kepemilikan Umum adalah izin dari Allah Swt.. kepada jamaah (masyarakat)
untuk secara bersama-sama memanfaatkan sesuatu.
 
Aset yang tergolong kepemilikan umum ini, tidak
boleh sama sekali dimiliki secara individu, atau dimonopoli oleh sekelompok
orang. Aset yang termasuk jenis ini adalah: pertama,
segala sesuatu yang menjadi kebutuhan vital masyarakat, dan akan menyebabkan
persengkataan jika ia lenyap[8],
misalnya: padang rumput, air, pembangkit listrik, dan lain-lain; kedua, segala sesuatu yang secara alami
tidak bisa dimanfaatkan hanya oleh individu[9],
misalnya: sungai, danau, laut, jalan umum, dan lain-lain; ketiga, barang tambang yang depositnya sangat besar, misalnya:
emas, perak, minyak, batu bara, dan lain-lain.
 
Dalam prakteknya, kepemilikan umum ini dikelola oleh
negara, dan hasilnya (keuntungannya) dikembalikan kepada masyarakat. Bisa dalam
bentuk harga yang murah, atau bahkan gratis, dan lain-lain. Adanya pengaturan
kepemilikan umum semacam ini, jelas menjadikan aset-aset startegis masyakat
dapat dinikmati bersama-sama. Tidak dimonopoli oleh seseorang atau sekelompok
orang, sehingga yang lain tidak memperoleh apa-apa; sebagaimana yang tejadi
dalam sistem kapitalis. Dengan demikian masalah kemiskinan dapat dikurangi,
bahkan diatasi dengan adanya pengaturan kepemilikan umum semacam ini.
 
·         Kepemilikan Negara adalah setiap harta yang menjadi hak kaum Muslim,
tetapi hak pengelolaannya diwakilkan pada Khalifah (sesuai ijtihadnya) sebagai
kepala negara
 
Aset yang termasuk jenis kepemilikan ini di
antaranya adalah: fa’i, kharaj, jizyah, atau pabrik-pabrik yang dibuat negara,
misalnya, pabrik mobil, mesin-mesin, dan lain-lain.
 
Adanya kepemilikan negara dalam Islam, jelas
menjadikan negara memiliki sumber-sumber pemasukan, dan aset-aset yang cukup
banyak. Dengan demikian negara akan mampu menjalankan tugas dan fungsinya
sebagai pengatur urusan rakyat. Termasuk di dalamnya adalah memberikan jaminan
pemenuhan kebutuhan rakyat miskin.
 
b.        Pengelolaan Kepemilikan
Pengelolaan kepemilikan dalam Islam mencakup dua
aspek, yaitu pengembangan harta (tanmiyatul
Mal) dan penginfaqkan harta (infaqul
Mal).
 
Baik pengembangan harta maupun penginfaqkan harta,
Islam telah mengatur dengan berbagai hukum. Islam, misalnya, melarang seseorang
untuk mengembangkan hartanya dengan cara ribawi, atau melarang seseorang
bersifat kikir, dan sebagainya. Atau misalnya, Islam mewajibkan seseorang untuk
menginfaqkan (menafkahkan) hartanya untuk anak dan istrinya, untuk membayar
zakat, dan lain-lain. Jelaslah, bahwa dengan adanya pengaturan pengelolaan
kepemilikan, akan menjadikan harta itu beredar, perekonomian menjadi
berkembang, dan kemiskinan bisa diatasi.
 
c.        Distribusi Kekayaan di Tengah-tengah Masyarakat
Buruknya distribusi kekayaan di tengah-tengah
masyarakat telah menjadi faktor terpenting penyebab terjadinya kemiskinan. Oleh
karena itu, masalah pengaturan distribusi kekayaan ini, menjadi kunci utama
penyelesaian masalah kemiskinan.
 
Dengan mengamati hukum-hukum syara’ yang berhubungan
dengan masalah ekonomi, akan kita jumpai secara umum hukum-hukum tersebut
senatiasa mengarah pada terwujudnya distribusi kekayaan secara adil dalam
masyarakat. Apa yang telah diuraikan sebelumnya tentang jenis-jenis kepemilikan
dan pengelolaan kepemilikan, jelas sekali, secara langsung atau tidak langsung
mengarah kepada terciptanya distribusi kekayaan.
 
Kita juga dapat melihat, misalnya, dalam hukum
waris. Secara rinci syariat mengatur kepada siapa harta warisan harus
dibagikan. Jadi seseorang tidak bisa dengan bebas mewariskan hartanya kepada
siapa saja yang dikehendaki. Sebab, bisa berpotensi pada distribusi yang tidak
adil.
 
Lebih dari itu, negara berkewajiban secara langsung
melakukan pendistribusian harta kepada individu rakyat yang membutuhkan.
Misalnya, negara memberikan sebidang tanah kepada soseorang yang mampu untuk
mengelolanya. Bahkan setiap individu berhak menghidupkan tanah mati, dengan
menggarapnya; yang dengan cara itu dia berhak memilikinya. Sebaliknya, negara
berhak mengambil tanah pertanian yang ditelantarkan pemiliknya selama tiga
tahun berturut-turut. Semua itu menggambarkan, bagaimana syariat Islam
menciptakan distribusi kekayaan, sekaligus menciptakan produktivitas sumberdaya
alam dan sumberdaya manusia, yang dengan sendirinya dapat mengatasi masalah
kemiskinan.
 
3.       Penyediaan Lapangan
Kerja
Menyediakan lapangan pekerjaan merupakan kewajiban
negara. Hal ini menyandar pada keumuman hadits Rasululah saw.:
 
Seorang iman (pemimpin) adalah bagaikan penggembala, dan dia akan diminta
pertanggungjawaban atas gembalaannya (rakyatnya). (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa Rasulullah saw. pernah memberikan
dua dirham kepada seseorang. Kemudian Beliau saw. bersabda:
 
Makanlah dengan satu dirham, sisanya belikan kapak, lalu gunakan ia untuk
bekerja.
 
Demikianlah, ketika syariat Islam mewajibkan
seseorang untuk memberi nafkah kepada diri dan keluarganya, maka syariat Islam
pun mewajibkan negara untuk menyediakan lapangan pekerjaan. Dengan cara ini,
setiap orang akan produktif, sehingga kemiskinan dapat teratasi.
 
4.       Penyediaan Layanan
Pendidikan
Masalah kemiskinan sering muncul akibat rendahnya kualitas sumberdaya
manusia, baik dari sisi kepribadian maupun ketrampilan. Inilah yang disebut
dengan kemiskinan kultural. Masalah ini dapat diatasi melalui penyediaan layana
pendidikan oleh negara. Hal ini dimungkinkan, karena pendidikan dalam Islam
mengarah pada dua kualifikasi penting, yaitu terbentuknya berkepribadian Islam
yang kuat, sekaligus memiliki ketrampilan untuk berkarya.
Syariat Islam telah mewajibkan negara untuk menyediakan layanan
pendidikan secara cuma-cuma kepada rakyat. Sebab, pendidikan memang merupakan
kebutuhan dasar bagi setiap individu rakyat. Layanan pendidikan ini akan
meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, dan selanjutnya akan mewujudkan
individu-individu yang kreatif, onovatif, dan produktif. Dengan demkian
kemiskinan kultural akan dapat teratasi.
 
Keberhasilan Islam dalam Mengatasi
Kemiskinan
Solusi yang ditawarkan Islam dalam mengatasi
kemiskinan, sebagimana yang telah diuraikan di atas, bukanlah sesuatu yang
menarik sebatas dalam tataran konsep semata. Perjalanan panjang sejarah kaum
Muslim, membuktikan bahwa solusi tersebut benar-benar dapat realisasikan. Yaitu
ketika kaum Muslim hidup di bawah naungan Negara Khilafah yang menerapkan Islam
secara kaffah.
Dalam kitab al-Amwaal karangan Abu Ubaidah,
diceritakan bahwa Khalifah Umar bin Khathab pernah berkata kepada pegawainya
yang bertugas membagikan shadaqah: “Jika
kamu meberikan, maka cukupkanlah”, selanjutnya berkata lagi: “Berilah mereka itu sedekah berulangkali
sekalipun salah seorang diantara mereka memiliki seratus onta”.[10] Beliau menerapkan politik ekonomi yang memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan
primer rakyat. Beliau mengawinkan kaum Muslim yang tidak mampu; membayar
hutang-hutang mereka, dan memberikan biaya kepada para petani agar mereka
menanami tanahnya.
Kodisi politik seperti ini terus berlangsung hingga
masa Daulah Umayah di bawah pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pada
saat itu rakyat sudah sampai pada taraf hidup dimana mereka tidak memerlukan
bantuan harta lagi. Pada tahun kedua masa kepemimpinannya, Umar bin Abdul Aziz
menerima kelebihan uang Baitul Mal secara
berlimpah dari gubernur Irak. Beliau lalu mengirim surat kepada gubernur tersebut: “Telitilah, barang siapa berhutang, tidak
berlebih-lebihan dan foya-foya, maka bayarlah hutangnya”. Kemudian gubernur
itu mengirim jawaban kepada beliau: “Sesungguhnya
aku telah melunasi hutang orang-orang yang mempunyai tanggungan hutang,
sehingga tidak ada seorang pun di Irak yang masih mempunyai hutang, maka apa
yang harus aku perbuat terhadap sisa harta ini?” Umar bin Abdul Aziz
mengirimkan jawaban: “Lihatlah setiap
jejaka yang belum menikah, sedangkan dia menginginkan menikah, kawinkanlah dia
dan bayar mas kawinnya” Gubernur itu mengirimkan berita lagi bahwa dia
sudah melaksanakan semua perinahnya, tetapi harta masih juga tersisa.
Selanjutnya Umar bin Abdul Aziz mengirimkan surat lagi kepadanya: “Lihatlah orang-orang Ahlu adz-Dzimmah[11] yang tidak mempunyai biaya untuk menanami tanahnya, berilah dia apa-apa yang
dapat mensejahterakannya.” Dalam kesempatan lain, Umar bin Abdul Aziz
memerintahkan pegawainya untuk berseru setiap hari di kerumunan khalayak ramai,
untuk mencukupi kebutuhannya masing-masing. “Wahai
manusia! Adakah diantara kalian orang-orang yang miskin? Siapakah yang ingin
kawin? Kemanakah anak-anak yatim?” Ternyata, tidak seorang pun datang
memenuhi seruan tersebut.[12]
Jaminan pemenuhan kebutuhan hidup ini, tidak hanya
diberikan kepada kaum Muslim, tetapi juga kepada orang non-Muslim. Dalam hal
ini, orang-orang non-Muslim yang menjadi warga negara Daulah Khilafah,
mempunyai hak yang sama dengan orang Muslim, tanpa ada perbedaan. Sebagai
contoh, dalam aqad dzimmah yang ditulis oleh Khalid bin Walid untuk menduduk
Hirah di Irak yang beragama Nasrani, disebutkan: “Saya tetapkan bagi mereka, orang yang lanjut usia yang sudah tidak
mampu bekerja atau ditimpa suatu penyakit, atau tadinya kaya kemudian jatuh
miskin, sehingga teman-temannya dan para penganut agamanya memberi sedekah;
maka saya membebaskannya dari kewajiban membayar jizyah. Dan untuk selajutnya
dia beserta keluarga yang menjadi tanggungannya, menjadi tanggungan Baitul Mal
kaum Muslim.”[13] Peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq ra.
Umar bin Khatab ra. pernah menjumpai seorang Yahudi
tua yang sedang mengemis. Ketika ditanyakan kepadanya, ternyata usia tua dan
kebutuhan telah mendesaknya untuk berbuat demikian. Umar segera membawanya
kepada bendahara Baitul Mal dan
memerintahkan agar detapkan bagi orang itu, dan orang-orang seperti dia,
sejumlah uang dari Baitul Mal yang
cukup baginya dan dapat memperbaiki keadaanya. Umar berkata: “Kita telah bertindak tidak adil
terhadapnya, menerima pembayaran jizyah darinya kala dia masih muda, kemudian
menelantarkannya kala dia sudah lajut usia.[14]
Demikianlah beberapa gambaran sejarah kaum Muslim, yang menunjukkan
betapa Islam yang mereka terapkan ketika itu benar-benar membawa keberkahan dan
kesejahteraan hidup. Bukan hanya bagi umat Muslim tapi juga bagi umat
non-Muslim yang hidup di bawah naungan Islam.
           
Khatimah
Islam bukanlah agama ritual semata, melainkan sebuah ideologi. Sebagai
sebuah ideologi yang shahih, tentu Islam memiliki cara-cara yang lengkap untuk
mengatasi berbagai problematika manusia, termasuk problem kemiskinan. Dari
pebahasan ini, tampak bagaimana kehandalan Islam dalam mengatasi problem
kemiskinan. Apabila saat ini kita menyaksikan banyak kemiskinan yang justru
melanda umat Islam, hal itu disebabkan karena mereka tidak hidup secara Islam.
Sistem hidup selain Islam-lah (Kapitalis, Sosialis/Komunis) yang mereka
terapkan saat ini, sehingga meskipun kekayaan alamnya melimpah, tetap saja hidup
dalam kemiskinan. Allah Swt. berfirman:
 
]وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ
مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى[
Barangsiapa
berpaling dari peringatan-Ku, maka baginya penghidupan yang sempit dan Kami
akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta (TQS. Thahaa[20]: 124)
 
Jika demikian halnya, masihkah umat ini tetap rela hidup tanpa syariat
Islam?

________________________________
 
[1]   Disampaikan dalam acara Diskusi Publik
“Selamatkan Indonesia dengan
Syariah” Hizbut Tahrir Indonesia,
di Jakarta 4 Agustus 2002.
[2]   Republika, 28 Agustus 2000
[3]   An-Nabhani, Taqiyuddin., Nadzamul
Iqtishadiy fil Islam, hal. 207; Abdul Qadim Zallum, al-Amwal fi Daulatil
Khilafah, hal 192; Sulaman Rasjid, Fiqh Islam, hal 207.
[4]   Al-Maliki, Abdurahman., as-Siyasatu
al-Iqtishadiyahtu al-Mutsla, hal. 176. 1963
[5]   HR. Muslim, Ahmad, dan Tirmidzi
dari Abu Hurairah
[6]   Taqiyuddin an-Nabhani, Nidzamul
Iqtishadi fil Islam,. Daarul Ummah, Cetakan ke-4, 1990, hal. 210
[7]   Al-Maliki, Abdurahman., as-Siyasatu
al-Iqtishadiyahtu al-Mutsla, hal. 176. 1963
[8]   Rasulullah bersabda:“Manusia
berserikat dalam tiga perkara, yaitu air, padang rumput, dan api”
[9]   Rasulullah bersabda: “Tidak
ada pagar pembatas kecuali bagi Allah dan Rasul-Nya” Artinya tidak ada hak
bagi seorang pun untuk membuat batas atau pagar atas segala sesuatu yang diperuntukkan
bagi masyarakat.
[10]Abdurrahman al-Bagdadi, Ulama
dan Penguasa di Masa Kejayaan dan Kemunduran, Gema Insani Press, Jakarta, 1988, hal. 38.
[11]Orang non-Muslim yang hidup di
bawah naungan Negara Khilafah.
[12]Ibid. hal. 39
[13]Diriwayatkan dari Abu Yusuf dalam
kitabnya al-Kharaj, hal. 144.
[14]Ibid, hal. 126.


----- Pesan Asli ----
Dari: muchlis idham <muchlis_idham@...>
Kepada: ppi_ukm@...
Terkirim: Kamis, 15 Mei, 2008 17:18:14
Topik: Re: [ppi_ukm] Re: MENGAPA MASYARAKAT (PERLu) to losi


Assalamu'alaikum
 
Mau ikutan juga...
 
Saya juga sepakat dengan bung hisyam, bahwa  khilafah yang diuraikan oleh bung Losi sangat baik dan mudah-mudahan dapat membuka pemikiran kawan-kawan (termasuk saya) yang belum paham betul tentang khilafah.
 
Pertanyaan saya untuk bung Losi (yang cerdas dan tidak emosian) ini ialah
Bagaimana konsep khilafah untuk menyelesaikan masalah BBM? atau yang lebih besar lagi menyelesaikan masalah kemiskinan di Indonesia?
 
Terima kasih atas jawabannya
Semoga ada orang yang nanti menyampaikan penyelesaian ini kepada pengambil kebijakan di Indonesia
 
Terima Kasih

Hisyam Lapatau wrote:
assalmualaikum

emang tuh bung losi perjuangan ngak semudah membalikan telapak
tangan....secara konseptual sistem khilafah yang diutarakan bung losi
dan teman2 cukup baik dan bagus menurut islam....apakah dengan
menutrakan pendapat orang lain..mengeritik permasalah sosial
masyarakat yang terjadi saat ini...hanya dengan kata kembali ke
khilafah.... .

apakah peimpin atau pun pengikutnyahanya bisa bilang khilafah...tapi
ngak ada rasa manusianya.. ..maaf saya beom mendengar peran khilafah
membntu kemanusiaan. ..yang anda perjuangan hanya pemerintah ganti
khilafah..

revolusi..pasti ada pertumpahan darah..

wasallam

--- In ppi_ukm@yahoogroups .com, ZAINUDDIN LOSI wrote:

Kalo
yang ini bukan copy paste melainkan hasil penyerapan saya dari
referensi yang ada (makanya pake warna untuk membedakan yang copy paste
dan yang bukan copy paste). Hehehe (wei..., tawa mulu).

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Begini abang Hisyam yang baik. Setahu saya yah, yang
namanya perjuangan itu mesti berproses. Iya ga? Ga ada perjuangan yang tanpa
proses tapi semua berproses: apakah prosesnya singkat atau prosesnya panjang
atau apakah prosesnya mudah atau prosesnya susah. Itu yang menjadi pertanyaan
(???), yaitu: proses, proses dan proses bahkan proses.
Perjuangan menegakkan Khilafah tentu memerlukan proses yang
tidak singkat dan tidak mudah. Kita jangan bermimpi berjuang menegakkan
Khilafah hari ini kemudian kemudian besok akan tegak. Mimpi seperti ini susah
dirasionalkan. Perjuangan menegakkan Khilafah tentu tidak semudah dan tidak
sesingkat membalikkan telapak tangan sebab kita menghadapi manusia-manusia yang
mempunyai pikiran yang telah dilembagakan dalam bentuk sistem yang telah ada
sekarang ini.
Ketika pemikiran Khilafah menghampiri mereka tentu mereka
menganggap pemikiran tersebut adalah asing dan mengancam pemikiran mereka yang
telah dibenarkan oleh sistem saat ini sehingga pemikiran Khilafah akan
cenderung dimusuhi oleh mereka yang tidak mau berubah alias status quo karena
menganggap pemikiran mereka dan sistem yang mereka tegakkan saat ini adalah
sistem yang lebih baik dibandingkan dengan Khilafah. Buktinya aja sekarang dapat
kita jumpai: para pejuang khilafah cenderung dimusuhi. Iya ga?
Dengan demikian, diperlukan pemikir-pemikir Khilafah yang
mampu berargumentasi dengan baik untuk meruntuhkan argumentasi mereka. Itulah
yang dilakukan oleh Nabi SAW ketika berdebat dengan pemikir-pemikir jahiliah
ketika berada di Makkah.  Hal yang sama
mesti kita lakukan sebab kita mencontoh sunnah Nabi SAW(yang tidak menggunakan
kekerasan). Fase debat tersebut dinamakan fase Shiraul fikri (perdebatan
intelektul). Itulah yang kami lakukan baik di milis maupun di tempat lain
(tentunya sesuai dengan kapasitas kami yang masih junior, yang senior juga ada
lho). He...he...he. ..
Tujuan shiraul fikri adalah merevolusi pemikiran-pemikiran
manusia (yang tidak Islam) dengan pemikiran Islam (tentunya bukan dengan
paksaan melainkan dengan perdebatan intelektual seperti yang dilakukan Nabi
SAW). Jika pemikiran-pemikiran manusia telah direvolusi (meskipun tidak seluruh
manusia), maka dengan mulus revolusi sistem dengan cara damai (bukan dengan
kekerasan yang berdarah-darah) dapat terwujud, sebagaimana revolusi Islam, yang
damai, yang pernah dilakukan oleh Nabi SAW ketika berada di Madinah.
Hidup revolusi!!!
Hidup revolusi!!!
Hidup revolusi!!!
Hehehe...Peace brooo...
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

----- Pesan Asli ----
Dari: ZAINUDDIN LOSI
Kepada: ppi_ukm@yahoogroups .com
Cc: Spiritual-Indonesia @yahoogroups. com
Terkirim: Kamis, 15 Mei, 2008 12:06:12
Topik: [ppi_ukm] MENGAPA MASYARAKAT (PERLU) MENOLAK KENAIKAN BBM?


Ini ada lagi copy pastenya.

Sumber: http://www.khilafah 1924.org/ index.php? option=com_ content&task=view&id=497&Itemid=47
MENGAPA
MASYARAKAT (PERLU) MENOLAK KENAIKAN BBM?
Oleh:
Revrisond Baswir (Dewan Pakar Koalisi Anti Utang)
Indonesia
adalah negara miskin produsen minyak. Produksi minyak Indonesia ,
sebagaimana dapat disimak dalam berbagai edisi Nota Keuangan, rata-rata
mencapai di atas satu juta barel per hari. Tahun 2003 dan 2004, produksi minyak Indonesia
mencapai 1,09 juta barrel dan 1,15 juta barel per hari. Sedangkan untuk tahun
2005, produksi minyak Indonesia
diproyeksikan mencapai 1,12 juta barel per hari.
Sebagian produksi minyak Indonesia ,
dengan pertimbangan bahwa kualitas dan harganya jauh lebih tinggi, diekspor ke
negara lain. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi Bahan Bakar Minyak
(BBM) di dalam negeri, Indonesia
mengimpor minyak dengan kualitas dan harga yang lebih rendah dari negara lain.
Hasil ekpor minyak dan gas Indonesia untuk tahun 2003 dan 2004 mencapai US$15,2
miliar dan US$19,6 miliar. Sedangkan impor minyak dan gas Indonesia untuk
kedua tahun yang sama masing-masing mencapai US$7,8 miliar dan US$11,5 miliar.
Untuk tahun 2005, ekspor dan impor minyak dan gas Indonesia diproyeksikan mencapai
US$19,7 miliar dan US$11,3 miliar.
Menyimak angka-angka tersebut dapat disaksikan
betapa hasil ekspor minyak dan gas Indonesia sejauh ini masih tetap mengalami
surplus. Sebab itu, sebagai negara miskin produsen minyak, sebenarnya sangat
wajar bila harga BBM di Indonesia lebih murah daripada harga BBM di pasar
internasional. Harga BBM yang lebih mahal, yang terus menerus di sesuaikan
dengan harga BBM di pasar internasional, tidak hanya akan memberatkan beban
hidup rakyat, tetapi juga akan menghambat mobilitas, dan dengan demikian akan
membatasi peluang rakyat untuk keluar dari perangkap kemiskinan.
Tetapi pemerintah rupanya memiliki pandangan
lain. Dalam pandangan pemerintah, harga BBM yang lebih murah daripada harga BBM
di pasar internasional, yaitu yang memperoleh subsidi dari negara, selain akan
membebani anggaran negara, juga cenderung menimbulkan distorsi terhadap
bekerjanya mekanisme pasar. Sebagaimana terungkap dalam advertorial sosialisasi
pengurangan subsidi BBM yang diterbitkan pemerintah di berbagai media massa,
subsidi BBM diyakini oleh pemerintah sebagai pemicu terjadinya penyelundupan
BBM, pengoplosan BBM, dan merupakan penghambat bagi penggunaan bahan bakar
alternatif.
Sepintas lalu, berbagai alasan pemerintah
tersebut memang tampak masuk akal. Walau pun demikian, sebagai negara miskin
produsen minyak, berbagai alasan pemerintah untuk meniadakan subsidi dan
menyesuaikan harga BBM di Indonesia dengan harga BBM di pasar internasional
itu, pada dasarnya cenderung mengada-ada. Mungkin benar bahwa subsidi BBM
cenderung menimbulkan distorsi di pasar. Tapi apa salahnya distorsi pasar, jika
hal tersebut justru bermanfaat untuk meringankan beban hidup rakyat?
Alasan pemerintah dalam mengurangi subsidi BBM,
walau pun alasan yang utama tetap soal pengurangan beban anggaran negara,
memang tidak terbatas hanya pada soal dampak negatif subsidi BBM terhadap
bekerjanya mekanisme pasar. Sebagaimana terungkap dalam advertorial sosialisasi
pengurangan subsidi BBM tadi, yang antara lain diperkuat dengan data yang
bersumber dari Bank Dunia, pemerintah juga menyatakan bahwa subsidi BBM
cenderung tidak tepat sasaran dan lebih banyak “dinikmati oleh golongan mampu
dan orang kaya.”
Alasan pemerintah yang terkesan seolah-olah
sangat memihak rakyat banyak dan kaum miskin itu tentu tampak sangat heroik.
Lebih-lebih bila dilengkapi dengan embel-embel akan tetap mempertahankan
subsidi minyak tanah, memberikan subsidi beras, beasiswa, dan fasilitas
kesehatan bagi kaum miskin. Walau pun demikian, hemat saya, berbagai alasan
pemerintah tersebut, selain cenderung mengeksploitir kaum miskin dan memicu
terjadinya pertentangan kelas, secara keseluruhan justru cenderung menyesatkan dan
bersifat manipulatif.
Kesimpulan tersebut tentu tidak saya buat secara
serampangan. Saya setidak-tidaknya mencatat lima alasan mendasar yang dapat dan perlu
dipergunakan oleh masyarakat untuk menolak kenaikkan harga BBM secara
argumentatif. Sebagaimana akan saya uraikan di bawah ini, kelima alasan
tersebut sesungguhnya tidak hanya perlu diketahui oleh masyarakat, tetapi juga
perlu diketahui oleh pemerintah dan parlemen, yaitu sebagai titik tolak untuk
menyusun kebijakan yang lebih berpihak terhadap kepentingan bangsa dan
perbaikan nasib rakyat.
ALASAN PERTAMA: LIBERALISASI EKONOMI
Kebijakan peniadaan subsidi BBM bukanlah
kebijakan yang berdiri sendiri, melainkan berkaitan dengan kebijakan besar
liberalisasi ekonomi yang saat ini tengah berlangsung di Indonesia .
Secara khusus, kebijakan peniadaan subsidi BBM berkaitan dengan kebijakan uang
ketat yang merupakan bagian dari pelaksanaan agenda Konsensus Washington sebagaimana diperintahkan oleh
IMF. Sebagai unsur dari agenda Konsensus Washington ,
tujuan utama kebijakan peniadaan subsidi BBM pada dasarnya adalah untuk
memperbesar peranan mekanisme pasar dalam penyelenggaraan perekonomian Indonesia .
Pada tahap selanjutnya, sejalan dengan
dilakukannya unbundling PT Pertamina, sebagaimana terungkap dalam Undang
Undang (UU) Minyak dan Gas No. 22/2001, kebijakan tersebut diharapkan dapat
merupakan insentif bagi para investor pertambangan untuk menanamkan modal
mereka di Indonesia. Sebagaimana diketahui, sudah sejak lama
perusahaan-perusaha an multinasional yang bergerak dalam bidang pertambangan
minyak dan gas, seperti Exxon Mobil, Chevron Texaco, BP Amoco Arco, Total Fina
Elf, dan Shell, sangat berhasrat untuk memperluas wilayah kerja mereka di
Indonesia.
Padahal, sesuai dengan UU Pertambangan Minyak dan
Gas No. 44 Prp/ 1960 dan UU Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara
No. 8/1971, perusahaan-perusaha an multinasional tersebut hanya diperkenankan
berperan sebagai kontraktor dalam proses eksplorasi minyak dan gas di
Indonesia.
Dengan demikian, sejalan UU No. 22/2001, yang
meniadakan perbedaan antara perusahaan-perusaha an multinasional tersebut dengan
PT Pertamina, penjualan BBM dengan harga bersubsidi jelas sangat bertentangan
dengan kepentingan bisnis mereka. Terutama jika dilihat dari sudut hasrat mereka
untuk menjadi pengecer BBM di Indonesia, penjualan BBM dengan harga bersubsidi
tentu sangat bertentangan dengan rencana besar liberalisasi sektor pertambangan
dan gas yang telah mereka perjuangkan sejak lama.
Menyimak agenda tersembunyi di balik kebijakan
peniadaan subsidi BBM yang sedang dilakukan pemerintah, lebih-lebih menyusul
keluarnya keputusan Mahkamah Konstitusi yang menghendaki dilakukannya amandemen
terhadap UU No. 22/2001, maka masyarakat sesungguhnya justru memiliki kewajiban
untuk menolak peniadaan subsidi dan kenaikan harga BBM. Kebijakan tersebut pada
dasarnya hanyalah unsur dari proses sistematis untuk meminggirkan rakyat dan
merupakan jalan lurus menuju neokolonialisme.
ALASAN KEDUA: STRUKTUR EKONOMI
Melencengnya sebagian besar manfaat subsidi BBM
terhadap anggota masyarakat golongan mampu dan orang kaya sama sekali bukan
kesalahan subsidi BBM, melainkan lebih erat kaitannya dengan corak struktur
perekonomian Indonesia
yang memang terlanjur sudah sangat timpang.
Sebagaimana diketahui, sesuai dengan batas garis
kemiskinan yang ditetapkan oleh Bank Dunia, jumlah penduduk Indonesia yang
berpenghasilan kurang dari US$2 atau sekitar Rp19.000 per hari, saat ini masih
berjumlah sekitar 60 persen dari jumlah seluruh penduduk. Sebaliknya, deposito
dengan volume terkecil Rp 5 miliar, yang secara keseluruhan meliputi 95 persen
dari jumlah seluruh deposito yang terhimpun pada berbagai bank di Indonesia,
diperkirakan hanya dimiliki oleh 14.000 orang terkaya di negeri ini.
Sebab itu, bila dikaji lebih jauh, jangankan
subsidi BBM, subsidi pendidikan, subsidi kesehatan, dan bahkan keberadaan
pemerintah itu sendiri, pada dasarnya cenderung lebih banyak dinikmati oleh
golongan mampu dan orang kaya daripada oleh anggota masyarakat golongan bawah
dan orang miskin.
Pertanyaannya, apakah untuk mengakhiri
berlanjutnya keberadaan pemerintah yang cenderung “tidak tepat sasaran” itu
kita juga perlu berpikir untuk membubarkan pemerintah? Jawabannya tentu saja
tidak. Yang perlu dilakukan oleh pemerintah untuik mencegah berlanjutnya
pemberian subsidi BBM, pendidikan, kesehatan, dan keberadaan pemerintah yang
cenderung tidak tepat sasaran tersebut bukanlah meniadakan pemberian subsidi.
Melainkan melakukan koreksi sistematis terhadap struktur perekonomian Indonesia yang
timpang.
Caranya adalah dengan memerangi korupsi,
menghentikan pemberian subsidi terselubung terhadap sektor perbankan,
mengalokasikan anggaran negara yang lebih besar bagi penanggulangan kemiskinan
dan pengangguran, meningkatkan alokasi anggaran untuk membiaya pendidikan dan
kesehatan, dan dengan meningkatkan tarif pajak kendaraan bagi para pemilik
kendaraan pribadi.
Pendek kata, masyarakat perlu menolak pengurangan
subsidi dan kenaikan harga BBM, sebab alasan pemerintah bahwa pemberian subsidi
BBM cenderung tidak tepat sasaran sama sekali tidak memiliki landasan
argumentasi yang kuat dan cenderung bersifat manipulatif.
ALASAN KETIGA: BEBAN UTANG
Jika dilihat dari segi Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN), membengkaknya defisit dan sangat beratnya beban anggaran
negara, pada dasarnya tidak dapat begitu saja dikaitkan dengan membengkaknya
subsidi BBM.
Pembengkakan defisit dan sangat beratnya beban
APBN terutama dipicu oleh sangat besarnya pengeluaran negara untuk membayar
angsuran pokok dan bunga utang dalam dan luar negeri setiap tahunnya.
Sebagaimana diketahui, pembayaran angsuran pokok dan bunga utang dalam dan luar
negeri dalam anggaran negara rata-rata mencapai Rp140 – Rp 150 triliun setiap
tahun.
Sebagaimana tampak dalam APBN 2004, angsuran
pokok dan bunga utang dalam negeri menelan sekitar Rp 30 triliun dan Rp 44
triliun. Sedangkan angsuran pokok dan bunga utang luar negeri menelan sekitar
Rp 46 triliun dan Rp 25 triliun per tahun. Jumlah itu, bandingkan dengan volume
subsidi BBM yang dalam APBN 2004 hanya dianggarkan sebesar Rp 14,5 triliun atau
setara dengan sepersepuluh anggaran pembayaran angsuran pokok dan bunga utang,
meliputi sekitar sepertiga APBN.
Perlu ditambahkan, pembayaran angsuran pokok dan
bunga utang dalam negeri pada dasarnya adalah subsidi terselubung yang
dikeluarkan pemerintah untuk para pemilik deposito dengan volume terkecil Rp 5
miliar, yang hanya dimiliki oleh sekitar 14.000 orang, sebagaimana saya
kemukakan tadi.
Selain itu, sebagaimana diakui sendiri oleh
pemerintah, volume subsidi BBM terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tiga tahun
terakhir, justru terus menerus mengalami penurunan. Tahun 2001 volume subsidi
BBM masih meliputi 4,7 persen PDB. Tahun 2002 dan 2003 turun menjadi hanya 1,9
dan 0,7 PDB. Sedang tahun 2004 lalu, volume subsidi BBM kembali hanya
dianggarkan sebesar 0,7 persen PDB.
Artinya, masyarakat memang perlu menolak kenaikan
harga BBM, sebab secara de facto, relatif terhadap PDB, selama beberapa
tahun belakangan ini, subsidi BBM telah terus menerus mengalami penurunan.
Sebab itu, subsidi BBM sama sekali tidak dapat dijadikan sebagai kambing hitam
membengkaknya defisit APBN. Beban berat anggaran negara terutama disebabkan
oleh sangat besarnya subsidi terselubung yang diberikan pemerintah terhadap sektor
perbankan dan sangat besarnya beban angsuran pokok dan bunga utang dalam negeri
setiap tahunnya.
ALASAN KEEMPAT: REJEKI NOMPLOK
Kenaikan harga minyak di pasar internasional sama
sekali tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengurangi subsidi dan
menaikkan harga BBM. Sebagai negara produsen dan pengekspor migas, Indonesia
sesungguhnya juga memperoleh manfaat dari kenaikkan harga minyak tersebut.
Sebagaimana telah saya singgung pada bagian awal tulisan ini, proyeksi hasil
ekspor migas Indonesia
untuk tahun 2005 mencapai US$19,7 miliar. Sedangkan proyeksi biaya impor migas Indonesia hanya
mencapai US$11,3 triliun.
Jika dilihat dari sudut APBN, sejalan dengan
meningkatnya harga minyak di pasar internasional, penerimaan negara dari sektor
migas yang meliputi PPh Migas dan Penerimaan Bukan Pajak Migas, seharusnya juga
mengalami peningkatan secara signifikan. Anehnya, sebagaimana tampak dalam APBN
2005, volume PPh Migas terhadap PDB justru diproyeksikan turun dari satu persen
menjadi 0,5 persen PDB. Sedangkan Penerimaan Bukan Pajak Migas turun dari 3,8
persen menjadi hanya 1,8 persen PDB.
Hal itu terutama disebabkan oleh sangat rendahnya
asumsi harga minyak dalam APBN 2005. Sebagaimana diketahui, ketika harga minyak
di pasar internasional melonjak melampaui US$50 per barrel, APBN 2005 hanya
mengasumsikan harga minyak sebesar US$24 per barrel. Dengan demikian,
pemerintah sesungguhnya diam-diam menikmati rejeki nomplok (windfall profit)
dari kenaikan harga minyak di pasar internasional itu.
Sayangnya, kita tidak pernah tahu berapa besarnya
rejeki nomplok yang dinikmati pemerintah dan untuk apa saja uang itu digunakan?
Padahal, sementara itu, kita terus menerus dikejutkan oleh semakin tingginya
peringkat Indonesia
sebagai negara juara korupsi di dunia. Sebagaimana diumumkan oleh Transparency
International, peringkat Indonesia
dalam jajaran negara juara korupsi terus meningkat dari urutan ketujuh pada
2002, menjadi urutan keenam pada 2003, dan menjadi urutan kelima pada 2004.
Menyimak hal tersebut, saya kira masyarakat
memang wajib menolak kenaikkan harga BBM, sebab angka-angka mengenai
penghasilan negara dari migas dan volume subsidi BBM cenderung tidak
transparan. Sejalan dengan itu, seiring dengan meningkatnya peringkat Indonesia
sebagai negara juara korupsi, volume kebocoran APBN patut dicuriga mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun. Artinya, daripada menambah beban hidup rakyat
dengan menaikkan harga BBM, jauh lebih masuk akal jika pemerintah menampakkan
kesungguhannya dalam memerangi korupsi dan kebocoran APBN.
ALASAN KELIMA: KEMISKINAN DAN PENGANGGURAN
Terakhir, pengurangan subsidi BBM sudah dapat
dipastikan akan memicu terjadinya kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok dan
biaya hidup rakyat. Hal itu, suka atau tidak, di tengah-tengah jumlah penduduk
miskin yang masih meliputi 60 persen penduduk, dan jumlah penganggur yang
meliputi 36 persen angkatan kerja, pasti akan semakin memperberat beban hidup
rakyat.
Sementara itu, sebagaimana tampak pada struktur
APBN 2005 yang bersifat sangat kontraktif, dan susunan tim ekuin Kabinet
Indonesia Bersatu yang dipenuhi oleh para ekonom neoliberal pemuja IMF, sama
sekali tidak tampak tanda-tanda bahwa pemerintahan yang ada sekarang ini memang
memiliki tekad untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran secara sungguh-sungguh.
Alih-alih berusaha keras mengurangi kemiskinan
dan pengangguran, pemerintah justru tampak sangat getol membela kepentingan
para kreditor dan investor asing di Indonesia . Tawaran moratorium dan
penghapusan sebagian utang luar negeri yang dikemukakan oleh negara-negara
anggota Paris Club, misalnya, cenderung ditanggapi dengan dingin oleh
pemerintah. Sebagaimana dikemukakan oleh Menteri Keuangan Jusuf Anwar, tindakan
tersebut dapat menghambat naiknya rating utang Indonesia dan menurunkan kepercayaan
para investor untuk menanamkan modal mereka di sini.
Intinya, sekaligus sebagai penutup tulisan ini,
saya tidak hanya menyerukan kepada masyarakat untuk menolak kenaikkan harga
BBM. Pada saat yang sama, saya juga mengajak masyarakat untuk mendesak pemerintah
agar segera mengakhiri pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal di sini,
memerangi korupsi dengan memperkarakan koruptor-koruptor kelas kakap,
menghentikan pemberian subsidi terselubung terhadap sektor perbankan, dan
berjuang keras menuntut dilakukannya penghapusan sebagian utang lama Indonesia
serta segera menghentikan pembuatan utang-utang baru.
Last but not least, menyusul terjadinya
gempa dan gelombang tsunami yang menelan lebih dari 100 ribu korban jiwa pada
26 Desember lalu, saya kira masyarakat juga perlu mendesak pemerintah untuk
meningkatkan keseriusannya dalam menanggulangi bencana gempa dan gelombang
tsunami yang melanda Provinsi Nanggroe Aceh Darussallam dan sekitarnya itu. Wallahu
a’lam bishawab. [ ]
SUMBER :
http://209.85.
175.104/search? q=cache:D4YmIbbk F2AJ:kau. or.id/index. php%3Foption%
3Dcom_docman% 26task%3Ddoc_ view%26gid% 3D30+revrisond+
BBM&hl=id&ct=clnk&cd=41&gl=id
Catatan Redaksi www.khilafah1924. org:
Tulisan Revrisond Baswir ini dibuat dalam konteks
kenaikan harga BBM bulan Oktober tahun 2005. Namun, meski beberapa data
kuantitatif perlu di-up-date, substansi dan struktur argumennya tetap
kuat dan relevan untuk menolak kenaikan harga BBM Juni 2008 mendatang secara
rasional dan argumentatif. Pemerintah memang zhalim. Kejam. Tega.
Pengkhianat. Penipu. Antek penjajah. (msj).

Tidak ada komentar: